Geliat UMKM di Solo Raya bisa jadi sinyal positif bagi perkembangan
dunia UMKM secara nasional. Meski demikian, publik pun mafhum bahwa
mereka yang berkutat pada lingkaran ekonomi ini masih dihadapkan pada
beberapa masalah klasik, seperti permodalan, akses informasi, pemasaran,
penguasaan teknologi, hingga perlindungan hukum, yang sampai saat ini
sepertinya masih berjalan di tempat mencari jalan keluar terbaik.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM Oktober 2012 lalu,
jumlah UMKM di Indonesia tercatat mencapai 55,206 juta unit atau 99,99%
dari total pelaku usaha yang jumlahnya 55,211 juta unit. Dari 55,206
juta UMKM tersebut, sebanyak 54,559 unit atau 98,82% di antaranya
merupakan usaha mikro dengan aset maksimal Rp50 juta dan omzet per tahun
maksimal Rp300 juta. Walau kuantitasnya demikian masif, tetapi dalam
hal daya saing, berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh APEC, UMKM
Indonesia ternyata masih di bawah negara-negara jiran dari Asia lainnya
seperti Hong Kong, Taiwan, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Pengajar dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), Lana
Soelistianingsih, dalam sebuah diskusi UMKM di Jakarta beberapa waktu
lalu menganalisis faktor krusial yang disinyalir melambatkan gerak UMKM.
Faktor itu tidak lain adalah kurang antusiasnya perbankan memberikan
bantuan permodalan karena UMKM dianggap tidak memiliki agunan yang
jelas. Kalaupun bantuan permodalan berupa kredit usaha dapat diberikan,
maka beban bunga atau risiko yang dibebankan pada mereka akan begitu
tinggi sebagai konsekuensinya.
Adanya sikap kehati-hatian perbankan dalam memberikan kredit seperti
dijelaskan di atas itulah yang jika tidak ditindaklanjuti oleh BI dan
pemerintah, terang Lana, akan membuat UMKM terus berjalan di tempat
sampai batas waktu yang sulit diprediksi. “Bank sangat hati-hati dalam
kucurkan kredit, sedangkan sektor mikro butuh akses. Ironis, bukan?”
ujar dia.
Jika persepsi ketidakjelasan agunan UMKM terus bergulir, maka jangan
salahkan jika kemudian muncul lembaga-lembaga pembiayaan non-bank (shadow banking)
untuk memberikan bantuan bagi UMKM dengan segala plus-minusnya. Pada
satu sisi, keberadaan mereka sangat membantu sektor mikro dalam
penyaluran kredit. Namun, di sisi lain, terkadang kucuran kredit yang
diberikan UMKM persentase bunganya cukup besar. Melihat realitas ini, BI
tidak bisa lagi hanya berpangku tangan dan tutup mata.
Dalam pandangan Lana, bank sentral, mau tidak mau, suka tidak suka,
harus merangkul perbankan yang memiliki kekuatan finansial sebagai
perpanjangan tangan dalam memberdayakan UMKM. Jika hal ini tidak segera
diantisipasi dan dilanjutkan dengan kebijakan yang tepat, maka pasar
ekonomi UMKM, teropong Lana, akan menjadi makanan empuk bagi perbankan
asing.
Rangkaian pekerjaan rumah yang berkorelasi dengan eksistensi UMKM
seperti yang dikritisi akademisi disadari betul oleh BI. Melalui
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, BI sebenarnya telah mengambil langkah
strategis revitalisasi UMKM dengan mendefinisikan ulang UMKM sebagai
usaha produktif berdasarkan tinjauan skala kriteria pelaku UMKM itu
sendiri. Usaha mikro diartikan sebagai usaha orang perorangan berskala
mikro dengan kekayaan maksimal Rp50 juta, tidak termasuk tanah dan
bangunan, serta memiliki penjualan tahunan paling banyak Rp300 juta.
Kedua, usaha kecil. Usaha ini adalah usaha orang per orang atau badan
usaha yang bukan merupakan anak perusahaan/cabang perusahaan yang
dikuasai usaha menengah atau besar dengan nilai kekayaan Rp500 juta dan
memiliki penjualan tahunan Rp300 juta–2,5 miliar.
Seperti halnya dua definisi sebelumnya, definisi usaha menengah juga
merupakan usaha orang per orang atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan/cabang perusahaan yang memiliki hubungan dengan usaha
kecil dan besar dalam satu garis linier. Kekayaan bersih usaha ini
berkisar Rp500 juta–10 miliar dengan penjualan tahunan Rp2,5–50 miliar.
Namun, sayangnya, empat tahun sejak perundang-undangan itu
dikeluarkan, geliat UMKM belum sepenuhnya terdongkrak maksimal. Hingga
November 2012 lalu, BI mencatat penyaluran kredit usaha mikro, kecil,
dan menengah (UMKM) masih di bawah harapan. Perbankan nasional baru
menyalurkan kredit UMKM Rp550 triliun. Padahal, BI telah menargetkan
kredit UMKM pada tahun 2012 sebesar Rp630 triliun.
Bank yang berhasil melampaui target untuk pembiayaan UMKM sepanjang
tahun 2012 masih didominasi oleh bank-bank negara. Dengan target awal
Rp15 triliun, BRI berhasil merealisasikan kucuran kredit UMKM 24% lebih
tinggi menjadi Rp18,6 triliun. Bank Mandiri setali tiga uang. Mereka
sukses merealisasikan kredit UMKM Rp3,6 triliun dari target Rp3,5
triliun. Saudara mudanya, Mandiri Syariah, juga mencatat rapor biru.
Dari rencana awal pemberian kredit UMKM sebesar Rp750 miliar, Mandiri
Syariah ternyata mampu menyalurkan pinjaman sebesar Rp1,2 triliun.
Sementara itu, Bank Negara Indonesia (BNI), BNI Syariah, Bank Bukopin,
serta 23 bank pembangunan daerah (BPD) masih kurang berhasil
merealisasikan target. (BERSAMBUNG)
Sumber : wartaekonomi
Silahkan di kunjungi ya teman teman 100% Memuaskan
BalasHapus> Hoki anda ada di sini <
1 USER ID UNTUK SEMUA GAME
Kami memberi bukti bukan Janji
Daftar sekarang juga di www.dewalotto.club
MIN DEPO & WD HANYA Rp.20.000,-
UNTUK INFORMASI SELANJUTNYA BISA HUB KAMI DI :
WHATSAPP : ( +855 69312579 ) 24 JAM ONLINE
MELAYANI TRANSAKSI VIA BANK :
BCA - MANDIRI - BRI - BNI - DANAMON-NIAGA
Raihlah Mimpi Anda Setiap Hari & Jadilah Pemenang !!!