PERAN koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah (KUMKM) telah terbukti memberikan sumbangan yang cukup signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, demikian juga terhadap penyerapan tenaga kerja. Hal ini dapat dilihat dari catatan sejarah tentang krisis ekonomi, baik pada 1997 maupun pada 2008, KUMKM merupakan sektor yang tidak terkena dampak krisis.
Salah satu yang menarik adalah potensi UMKM yang ditunjukkan oleh keberadaannya sekitar 49,7 juta unit usaha pada 2007, dengan kegiatan usaha yang mencakup hampir semua lapangan usaha, serta tersebar di seluruh tanah air.
Pemberdayaan KUMKM akan mendukung peningkatan produktivitas, penyediaan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan bagi masyarakat miskin. Kegiatan UMKM menyerap 96,8 persen dari seluruh pekerja yang berjumlah 80,3 juta pekerja.
Kontribusi UMKM terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) pada 2007 sebesar 54,2 persen, dengan laju pertumbuhan nilai tambah 6,3 persen. Angka pertumbuhan tersebut melampaui laju pertumbuhan nilai tambah untuk usaha besar. Sementara itu, sampai akhir 2007, jumlah koperasi telah mencapai 132.000 unit, dengan anggota 27,3 juta orang.
Melihat statistik tersebut maka KUMKM sangat eksotis, seksi, dan menarik bagi kalangan lembaga pembiayaan seperti lembaga keuangan (bank dan nonbank-red.). Hanya, KUMKM ibarat gadis ndeso yang sangat polos, lugu, dan jujur, sehingga untuk pendekatannya pun perlu strategi dan taktik yang sesuai dengan karakteristik KUMKM. Di sisi lain, KUMKM sebagai pelaku usaha memerlukan kehadiran lembaga keuangan untuk kepentingan modal kerja ataupun investasi.
Namun, karena terdapat keterbatasan di kedua belah pihak, jalinan hubungan baik antara keduanya sulit terjadi. Untuk itu, kedua belah pihak perlu menyamakan sudut pandang dan bahasa, agar dapat terjalin hubungan yang harmonis.
Dari sisi sudut pandang, terutama dikaitkan dengan prinsip prudential (kehati-hatian) lembaga keuangan. Hal ini harus dapat dimengerti oleh KUMKM sebagai prasyarat utama yang disepakati bersama. Jika tidak maka tidak akan muncul trust (kepercayaan). Padahal, hal itu modal dasar dalam hubungan bisnis.
Biasanya lembaga keuangan menerapkan persyaratan tinggi untuk prinsip kehati-hatian ini, sehingga sulit untuk dipenuhi beberapa KUMKM terutama bagi yang belum bankable (layak dari sisi bank). Jika terjadi, KUMKM akan menuding lembaga keuangan arogan.
Dari sisi bahasa, KUMKM mempunyai latar belakang intelektual yang berbeda dengan mereka di lembaga keuangan. Terkadang pemahaman bahasa menjadi kendala terutama bahasa atau istilah-istilah dalam bidang keuangan.
Komunikasi sebagai modal untuk menjalin hubungan baik, maka perlu digunakan bahasa atau istilah-istilah yang mudah dan dipahami oleh KUMKM. Penulis, Kepala Balai Konsultasi dan Pendampingan Kredit UMKM IKOPIN.
Penulis adalah Dosen dan Kepala Balai Konsultasi dan Pendampingan Kredit UMKM IKOPIN
Sumber: http://www.ikopin.ac.id.