Sabtu, 23 Februari 2013

Siap-Siap Gelar Karpet Merah bagi UMKM (Bag II)

Geliat UMKM di Solo Raya bisa jadi sinyal positif bagi perkembangan dunia UMKM secara nasional. Meski demikian, publik pun mafhum bahwa mereka yang berkutat pada lingkaran ekonomi ini masih dihadapkan pada beberapa masalah klasik, seperti permodalan, akses informasi, pemasaran, penguasaan teknologi,  hingga perlindungan hukum, yang sampai saat ini sepertinya masih berjalan di tempat mencari jalan keluar terbaik.

Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM Oktober 2012 lalu, jumlah UMKM di Indonesia tercatat mencapai 55,206 juta unit atau 99,99% dari total pelaku usaha yang jumlahnya 55,211 juta unit. Dari 55,206 juta UMKM tersebut, sebanyak 54,559 unit atau 98,82% di antaranya merupakan usaha mikro dengan aset maksimal Rp50 juta dan omzet per tahun maksimal Rp300 juta. Walau kuantitasnya demikian masif, tetapi dalam hal daya saing, berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh APEC, UMKM Indonesia ternyata masih di bawah negara-negara jiran dari Asia lainnya seperti Hong Kong, Taiwan, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina.

Pengajar dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), Lana Soelistianingsih,  dalam sebuah diskusi UMKM di Jakarta beberapa waktu lalu menganalisis faktor krusial yang disinyalir melambatkan gerak UMKM. Faktor itu tidak lain adalah kurang antusiasnya perbankan memberikan bantuan permodalan karena UMKM dianggap tidak memiliki agunan yang jelas. Kalaupun bantuan permodalan berupa kredit usaha dapat diberikan, maka beban bunga atau risiko yang dibebankan pada mereka akan begitu tinggi sebagai konsekuensinya.

Adanya sikap kehati-hatian perbankan dalam memberikan kredit seperti dijelaskan di atas itulah yang jika tidak ditindaklanjuti oleh BI dan pemerintah, terang Lana, akan membuat UMKM terus berjalan di tempat sampai batas waktu yang sulit diprediksi. “Bank sangat hati-hati dalam kucurkan kredit, sedangkan sektor mikro butuh akses. Ironis, bukan?” ujar dia.

Jika persepsi ketidakjelasan agunan UMKM terus bergulir, maka jangan salahkan jika kemudian muncul lembaga-lembaga pembiayaan non-bank (shadow banking) untuk memberikan bantuan bagi UMKM dengan segala plus-minusnya. Pada satu sisi, keberadaan mereka sangat membantu sektor mikro dalam penyaluran kredit. Namun, di sisi lain, terkadang kucuran kredit yang diberikan UMKM persentase bunganya cukup besar. Melihat realitas ini, BI tidak bisa lagi hanya  berpangku tangan dan tutup mata.

Dalam pandangan Lana, bank sentral,  mau tidak mau, suka tidak suka, harus merangkul perbankan yang memiliki kekuatan finansial sebagai perpanjangan tangan dalam memberdayakan UMKM. Jika hal ini tidak segera diantisipasi dan dilanjutkan dengan kebijakan yang tepat, maka pasar ekonomi UMKM, teropong Lana, akan menjadi makanan empuk bagi perbankan asing.

Rangkaian pekerjaan rumah yang berkorelasi dengan eksistensi UMKM seperti yang dikritisi akademisi disadari betul oleh BI. Melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, BI sebenarnya telah mengambil langkah strategis revitalisasi UMKM dengan mendefinisikan ulang UMKM sebagai usaha produktif berdasarkan tinjauan skala kriteria pelaku UMKM itu sendiri. Usaha mikro diartikan sebagai usaha orang perorangan berskala mikro dengan kekayaan maksimal Rp50 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan, serta memiliki penjualan tahunan paling banyak Rp300 juta.
Kedua, usaha kecil. Usaha ini adalah usaha orang per orang atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan/cabang perusahaan yang dikuasai usaha menengah atau besar dengan nilai kekayaan Rp500 juta dan memiliki penjualan tahunan Rp300 juta–2,5 miliar.

Seperti halnya dua definisi sebelumnya, definisi usaha menengah juga merupakan usaha orang per orang atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan/cabang perusahaan yang memiliki hubungan dengan usaha kecil dan besar dalam satu garis linier. Kekayaan bersih usaha ini berkisar Rp500 juta–10 miliar dengan penjualan tahunan Rp2,5–50 miliar.

Namun, sayangnya, empat tahun sejak perundang-undangan itu dikeluarkan, geliat UMKM belum sepenuhnya terdongkrak maksimal. Hingga November 2012 lalu, BI mencatat penyaluran kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) masih di bawah harapan. Perbankan nasional baru menyalurkan kredit UMKM Rp550 triliun. Padahal, BI telah menargetkan kredit UMKM pada tahun 2012 sebesar Rp630 triliun.

Bank yang berhasil melampaui target untuk pembiayaan UMKM sepanjang tahun 2012 masih didominasi oleh bank-bank negara. Dengan target awal Rp15 triliun, BRI berhasil merealisasikan kucuran kredit UMKM 24% lebih tinggi menjadi Rp18,6 triliun. Bank Mandiri setali tiga uang. Mereka sukses merealisasikan kredit UMKM Rp3,6 triliun dari target Rp3,5 triliun. Saudara mudanya, Mandiri Syariah, juga mencatat rapor biru. Dari rencana awal pemberian kredit UMKM sebesar Rp750 miliar, Mandiri Syariah ternyata mampu menyalurkan pinjaman sebesar Rp1,2 triliun. Sementara itu, Bank Negara Indonesia (BNI), BNI Syariah, Bank Bukopin, serta 23 bank pembangunan daerah (BPD) masih kurang berhasil merealisasikan target. (BERSAMBUNG)

Sumber : wartaekonomi

1 komentar:

  1. Silahkan di kunjungi ya teman teman 100% Memuaskan
    > Hoki anda ada di sini <
    1 USER ID UNTUK SEMUA GAME
    Kami memberi bukti bukan Janji
    Daftar sekarang juga di www.dewalotto.club
    MIN DEPO & WD HANYA Rp.20.000,-
    UNTUK INFORMASI SELANJUTNYA BISA HUB KAMI DI :
    WHATSAPP : ( +855 69312579 ) 24 JAM ONLINE
    MELAYANI TRANSAKSI VIA BANK :
    BCA - MANDIRI - BRI - BNI - DANAMON-NIAGA
    Raihlah Mimpi Anda Setiap Hari & Jadilah Pemenang !!!

    BalasHapus

Konsultan kredit umkm, solusi tepat usaha anda

100 juta – 500 juta – 1 milyar akan cair di tangan anda

Hot Line 021 4085 9152